"LIMA ROTI, DUA IKAN DAN MIMBAR KAYU"
Di sebuah Stasi kecil bernama Stasi Galilea Baru, yang terletak di lereng pegunungan, Mikael, seorang anak lelaki hidup di situ. Ia berusia dua belas tahun, hidup sederhana bersama neneknya, Oma Lena, sejak orang tuanya meninggal dalam kecelakaan kapal beberapa tahun silam. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat kapel tua yang nyaris roboh karena usia dan angin gunung yang keras.
Setiap hari, Mikael membantu neneknya menanam sayur, memungut kayu bakar, dan menjual ikan hasil pancingannya di pasar kecil desa. Tak banyak yang dimilikinya, namun Mikael dikenal sebagai anak yang ceria, ramah, dan selalu siap membantu. Ia rajin mengikuti misa meskipun harus berjalan kaki tiga kilometer ke paroki terdekat.
Suatu hari, pastor paroki, Romo Beni, datang berkunjung ke desa. Ia berdiri di tengah lapangan kecil dan berseru, “Saudara-saudari! Tahun ini kita akan merayakan Pesta Santo Atanasius dengan perayaan Ekaristi Kudus di desa ini. Tapi kita butuh tempat—dan kita akan memulihkan kapel tua itu menjadi tempat yang layak.”
Semua orang tercengang. Kapel tua itu? Tempat itu bahkan tak punya atap yang utuh. Sebagian orang tertawa kecil. “Mana mungkin, Romo. Butuh banyak uang, banyak bahan, banyak tenaga!”
Namun Romo Beni tersenyum dan berkata, “Yesus pernah bertanya kepada para murid, ‘Apa yang kamu punya?’ dan seorang anak kecil memberi lima roti dan dua ikan. Maukah kita juga menyerahkan yang sedikit yang kita punya?”
Malam itu, Mikael merenung di depan patung Yesus yang retak di dalam kapel tua. Ia teringat homili terakhir Romo Beni: "Tuhan tidak minta lebih dari yang kau punya. Ia hanya minta kesediaanmu untuk memberi, dan Ia akan memberkati."
Mikael menatap ke tangan kecilnya yang kotor karena tanah. Ia tidak punya uang. Tidak punya kayu atau batu bata. Tapi… Ia punya satu hal.
Pagi-pagi, sebelum fajar, Mikael pergi ke gudang kayu tua di belakang rumahnya. Ia menarik keluar sebilah papan besar yang sudah ia simpan—bekas meja peninggalan ayahnya yang dulu seorang tukang kayu. “Meja ini kuat,” gumamnya, “bisa jadi mimbar.”
Dengan susah payah, Mikael menyeret papan itu ke kapel tua. Ia mulai mengamplas, memaku, membentuknya menjadi sebuah mimbar sederhana. Jari-jarinya terluka, namun wajahnya bersinar.
Ketika Romo Beni datang kembali seminggu kemudian, ia terkejut melihat ada mimbar baru berdiri di sudut altar kapel. “Siapa yang membuat ini?” tanyanya.
Mikael maju perlahan, menunduk. “Saya, Romo… saya tidak punya apa-apa. Tapi saya punya meja ayah saya. Saya ubah jadi mimbar.”
Romo Beni menatap bocah itu lama. Matanya berkaca-kaca. “Mikael… kamu telah memberi lebih dari cukup. Kamu telah memberi hatimu.”
Kabar tentang mimbar itu menyebar. Satu per satu, warga mulai ikut ambil bagian. Pak Seno menyumbang batu bata sisa dari bangunan rumahnya. Bu Lisa membawa cat tua dari gudang. Anak-anak membantu membersihkan kapel. Bahkan Pak Aris, yang biasanya tidak pernah ke gereja, datang membawa dua seng bekas.
Kapel tua itu pun perlahan berubah. Atapnya dipasang kembali. Lantainya dibersihkan. Altar diperkuat. Dan di sudut paling depan, berdirilah mimbar kayu sederhana karya seorang anak kecil—lambang kasih yang tulus.
Pada hari Pesta Santo Atanasius, umat berdatangan dari berbagai desa. Romo Beni berdiri di mimbar itu, menatap umat dan berkata dalam homilinya:
“Saudara-saudari terkasih, hari ini kita merayakan keberanian Santo Atanasius, yang menyerahkan seluruh hidupnya demi kebenaran iman. Tapi kita juga belajar dari seorang anak kecil yang, seperti dalam Injil Yohanes hari ini, menyerahkan lima roti dan dua ikan kepada Yesus. Di desa ini, seorang anak bernama Mikael telah menyerahkan apa yang ia punya—sepotong kayu warisan ayahnya—dan Tuhan memberkati.”
Suasana sunyi. Beberapa mata mulai berkaca-kaca. Mikael yang duduk di barisan belakang menggenggam tangan neneknya erat-erat. Oma Lena tersenyum penuh haru.
“Sering kali,” lanjut Romo, “kita merasa tidak punya cukup. Tapi Yesus tidak menuntut jumlah. Ia mencari hati yang siap berbagi. Mikael tidak membangun seluruh kapel ini sendiri. Tapi kasihnya menyalakan semangat seluruh desa. Itulah mukjizat sejati—kasih yang menular.”
Setelah misa, banyak umat menghampiri Mikael dan memeluknya. “Terima kasih, Nak. Kamu telah mengajarkan kami arti memberi,” kata seorang ibu. Yang lain berkata, “Kalau bukan karena kamu, kami takkan percaya bahwa Tuhan bisa melakukan hal besar dari sesuatu yang kecil.”
Hari itu, mimbar kayu buatan Mikael menjadi lebih dari sekadar tempat berkhotbah. Ia menjadi simbol bahwa setiap orang—sekecil apa pun dirinya—bisa menjadi alat dalam tangan Tuhan.
Di kemudian hari, kapel itu dikenal sebagai Kapel Lima Roti Dua Ikan. Dan mimbar itu tetap berdiri, meski telah bertahun-tahun berlalu. Setiap Romo yang berkhotbah dari sana tahu: mereka sedang berpijak di atas kasih seorang anak kecil yang mempercayakan segalanya pada Tuhan.
Cijantung, 2 Mei 2025
*Refleksi*:
Tuhan tidak menuntutmu memberi lebih dari yang kita miliki. Ia hanya meminta satu hal: serahkan dengan cinta: waktu, tenaga, pikiran, mungkin sedikit harta kita dan percaya bahwa Ia akan memberkatinya. Seperti Santo Atanasius, seperti anak kecil dalam Injil, dan seperti Mikael—maukah kita memberi yang kecil dengan iman yang besar?